Senin, 01 Desember 2014

Tradisi ngusaba Bukakak desa Giri Emas,Kecamatan Sawan,Kabupaten Buleleng

Ngusaba Bukakak di Buleleng

Ngusaba Bukakak di Buleleng
Ngusaba Bukakak di Buleleng, tradisi ini rutin dilakukan setiap 2 tahun sekali, budaya dan tradisi hanya satu-satunya bisa disaksikan di desa Sangsit, sawan, Singaraja. Dengan segala keunikan yang dimiliki Bali, memantapkan para pelancong untuk menjadikan Bali sebagai destinasi favorit wisata dunia, dan paket-paket tour yang disediakan sangant menarik.

DESA GIRI EMAS
Desa Giri Emas Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng merupakan hasil pemekaran Desa Sangsit yang diresmikan menjadi Desa Difinitif pada tanggal 14 November 2005. Luas Wilayah Desa: 290 Ha. Letak Wilayah Desa Giri Emas terletak dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Utara - Laut Bali, Timur - Desa Bungkulan, Selatan - Desa Jagaraga, Barat - Desa Sangsit. 

BUKAKAK 
Pada hari Purnama Kedasa, kerama Subak Dangin Yeh Desa Giri Emas melakukan upacara Ngusaba Subak dan Ngusaba Desa. Upacara ini merupakan ungkapan rasa syukur dan terima-kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atas rachmatnya yang telah memberikan hasil panen yang melimpah. Dalam rangkaian upacara ngusaba, anggota subak dan anggota desa secara keseluruhan menbuat Bukakak. Bukakak berasal dari kata Lembu dan Gagak, Lembu melambangkan Ciwa dan Gagak melambangkan Wisnu. Bukakak merupakan simbul perpaduan antara sekta Ciwa, Wisnu dan juga Sambu. Bukakak ini diwujudkan sebagai seekor burung Garuda/Paksi yang di buat dari daun enau muda yang dalam bahasa lokal disebut ambu. Sedangkan sarana untuk pelinggih/singgasana yang akan naik di atas garuda adalah seekor babi hitam pulus yang diproses menjadi dua warna yaitu Hitam (warna bulu asli) melambangkan Dewa Wisnu, separuh lagi warna putih (Bulu di bersihkan) melambangkan Dewa Ciwa. Sedangkan babi itu sendiri adalah simbul Dewa Sambu.

Berikut adalah photo2 tentang aktifitas aktifitasnya...


Dangsil

Bentuk menyerupai Tiga buah Meru terbuat dari pohon pinang di hias daun enau berbentuk lingkaran yang masing-masing berjumlah tujuh, sembilan dan sebelas. Dangsil ini melambangkan tingkat para Dewa tertinggi Ciwa Sada Ciwa dan Parama Ciwa.





Pura Pasek

Terletak di sentral Desa, persis di pinggir jalan Raya Giri Emas-Singaraja, merupakan sentral aktifitas upacara Ngusaba ini di laksanakan. Pura ini merupakan cikal bakal perkembangan dan aktifitas kegiatan desa secara umum. Pura ini  disungsung oleh kerama desa secara umum dan kerama Dadya Pasek sebagai pengempon. Sangat disayangkan ketika pura ini di pergunakan untuk kegiatan aktifitas desa yang di dominasi oleh kerama subak sehingga di klaim sebagai Pura Subak. Kalau kita melihat dari struktur pelinggih Ida Betara yang di sentanakan, pelinggih utama adalah Ida Betara Ratu Pasek. Ratu Pasek disini bukan semata milik klen Pasek tetapi sebagai Jabatan tertinggi, jadi seluruh kerama dese wajib untuk menghaturkan sembah bakti kehadapan Ida Betara Ratu Pasek. Sedangkan kalau dikaitkan dengan pemujaan Beliau yang berhubungan erat dengan Hyang Geni Jaya maka Bliau adalah sebagai Brahma, jadi lebih tepat Pura Pasek ini adalah merupakan Pura Desa. Secara umum bisa dibandingkan dengan sejarah perkembangan Pura Bale Agung Buleleng.


Kerama Desa bersama-sama membuat Bukakak di Jaba Pura Pasek


Bukakak sebagai pelinggih atau kendaraan Ida Betara yang menyerupai Burung/Paksi telah siap dan di prayastita atau di sucikan secara niskala agar terbebas dari keletehan/kekotoran fisik maupun non fisik.


Sekitar pukul 11.00 Wita Kerama desa berdatangan siap untuk mengikuti perjalanan Ida Betara yang akan anjangsana ke Pura yang sudah ditentukan. Untuk mengetahui kemana tempat/Pura yang akan di tuju,   beberapa hari sebelumnya sudah  nuntun Ida Betara yaitu mohon petunjuk dengan jalan dialog secara supra naural oleh Jro Mangku. Kerama desa yang akan mengusung Bukakak hanya diperbolehkan bagi yang sudah dewasa, sedangkan yang masih tergolong remaja hanya boleh mengusung sarad atau jempana.
Pengusung Bukakak berpakaian putih merah sedangkan pengusung Jempana berwarna putih kuning. Warna merah putih sangat sarat akan makna. Merah simbul darah dan putih simbul getah. Merah dan putih merupakan simbul kesatuan kehidupan semesta seutuhnya. sedangkan putih kuning juga bermakna sangat dalam yaitu merupakan tunas-tunas kehidupan yang kelak tumbuh menjadi sempurna.

Sebelum perjalanan dimulai, terlebih dahulu diawali dengan menyucikan Ida Betara dan seluruh warga desa ke Pura Pancoran Emas. Di pura ini dibagikan berkah berupa bija /beras kuning yang telah diberkahi sebagai bekal kekuatan secara gaib untuk siap menempuh perjalanan jauh dan melelahkan dibawah teriknya matahari.





Ini adalah Sarad atau Jempana Linggih Ida Betara.




Bukakak siap di usung dari Pura Pasek menuju Pura Gunung Sekar yang letaknya di atas bukit untuk mendak atau menjemput Ida Betara yang akan di iring anjangsana ke Pura yang akan di tuju.





Perjalan menuju Pura yang tuju dengan jarak yang cukup jauh dan penuh rintangan. Memang terasa sangat berbeda Bukakak sebelum di pasupati dibanding setelah di pasupati dan Ida Betara sudah melinggih, terasa jauh lebih berat. Dengan semangat yang tinggi untuk menghantakan Ida semuanya jadi ringan.


Perjalana yang cukup melelahkan dengan segala rintangan akhirnya sampai juga ke Pura tujuan. Pada periode ini tujuannya adala Pura Beraban di Desa Menyali. Mengingat pemedal/gerbang Pura yang sempit akhirnya diputuskan menyeberang tembok untuk bisa masuk ke halaman utama Pura.
Setelah Pelinggih/Bukakak dan semua Sarad di tempatkan di tempat yang telah disediakan, kerama melakukan persembahyangan bersama dan diperciki tirta amerta. Walau hanya setetes air melewati kerongkongan terasa sangat nikmat dan menghapuskan rasa lelah selama perjalanan.






Setelah prosesi persembahyangan selesai akhirnya Pelinggih/Bukakak beserta sarad-sarad pengikutnya kembali pulang kedesa Giri emas. Sampai di Giri Emas kembali Pelinggih naik ke Pura Gunung Sekar untuk menghantar Ida Betara kembali ke Alam Sunialoka. Prosesi ngantukang atau mengembalikan Ida Betara selesai kemudian dilanjutkan acara mejaya-jaya yaitu membagi-bagikan berkah kepada para pengusung berupa makanan yang terdiri dari ketupat, telur ayam jajanan dan buah-buahan. Upacara Bukakak dianggap sudah selesai dan warga desa kembali kerumah masing-masing.
Pada malam harinya warga Subak sebagai penyelenggara dan penyandang dana kembali berkumpul bersama untuk merayakan bahwa upacara telah selesai. Acara ini dikuti dengan menarikan Pelaus. Tari Pelaus yaitu semacam tarian sukacita dimana anggota subak saling berhadapa silih berganti untuk menari. Suasana menjadi riang dan rilek setelah beberapa hari bekerja keras menghabiskan waktu, tenaga dan juga dana.
Sebuah perjalanan suci penuh pengorbanan lahir dan batin. Tetapi sangat indah dan sangat kaya akan makna. Pengorbanan anak manusia yang tak akan pernah berhenti sebagai tanda ucapkan rasa syukur dan terima-kasih yang sebesar-besarnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas anugrah dan kehidupan yang telah diberikan....

Berbagai macam adat dan kebudayaan bali yang menjadi tradisi

Adat & Kebudayaan

Adat dan kebudayaan di Bali sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan religius masyarakatnya. Adat dan kebudayaan tersebut memiliki akar sejarah yang sangat panjang sehingga mencerminkan konfigurasi yang ekspresif dengan dominannya nilai religius dari agama Hindu. Kongifurasi tersebut meliputi agama, pola kehidupan, pola pemukiman, lembaga kemasyarakatan, dan kesenian pada masyarakat Bali.

Agama

Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu yang memiliki kerangka dasar meliputi tiga hal yaitu Tatwa (filsafat), Tata Susila dan Upacara. Agama Hindu berdasarkan pada kitab suci Wedha, yang keseluruhannya dihimpun dalam empat Samhita, yaitu Reg Wedha Samhita, Sama Wedha Samhita, Yayur Wedha Samhita dan Atharwa Wedha Samhita. Pada hakikatnya ajaran agama Hindu adalah Panca Cradha yang artinya lima keyakinan, yaitu Widi Cradha adalah keyakinan terhadap Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa, Atma Cradha adalah keyakinan akan adanya atman atau jiwa pada setiap makhluk, Karma Phala Cradha adalah keyakinan terhadap hukum perbuatan, Punarbhawa Cradha adalah keyakinan terhadap adanya reinkarnasi atau kelahiran kembali setelah kematian, Moksa Cradha adalah keyakinan terhadap moksa yaitu kebahagiaan yang kekal abadi.
Untuk melakukan sembahyang atau pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi termasuk manifestasinya harus di tempat suci yaitu Pura. Menurut fungsinya Pura digolongkan atas dua jenis yaitu Pura Umum sebagai tempat suci pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi dan Genealogis yaitu tempat suci untuk pemujaan terhadap roh leluhur. Upacara atau persembahan kepada Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa disebut Yadnya. Secara keseluruhan di Bali ada lima macam upacara yang disebut Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya adalah persembahan kepada Sang Hyang Widhi termasuk manifestasinya, Rsi Yadnya adalah kebaktian kepada para Rsi dan Sulinggih, Manusia Yadnya adalah upacara daur kehidupan manusia mulai dari dalam kandungan, kelahiran, masa anak-anak, masa dewasa, hingga meninggal, dan Pitra Yadnya adalah persembahan kepada para leluhur, serta Butha Yadnya yaitu korban yang ditujukan kepada kekuatan-kekuatan yang berfungsi memelihara keseimbangan alam.

Pola Kehidupan

Pola kehidupan masyarakat umat Hindu di Bali sangat terikat pada segi-segi kehidupannya yaitu diwajibkan melakukan pemujaan atau sembahyang pada pura tertentu, diwajibkan pada satu tempat tinggal bersama dalam komunitas, dalam kepemilikan tanah pertanian diwajibkan dalam satu subak tertentu, diwajibkan dalam status sosial berdasarkan warna, pada ikatan kekerabatan diwajibkan menurut prinsip patrilineal, diwajibkan menjadi anggota terhadap sekeha tertentu, dan diwajibkan dalam satu kesatuan administrasi desa dinas tertentu.

Pola Pemukiman

Struktur pemukiman masyarakat Bali dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu pemukiman pola kosentris seperti pada masyarakat Bali yang tinggal di pegunungan dan pemukiman pola menyebar seperti pada masyarakat Bali yang berada di dataran rendah. Pada pola kosentris Desa Adat menjadi titik sentral. Sedangkan pada pola menyebar, desa terbagi-bagi ke dalam satu kesatuan wilayah yang lebih kecil yang disebut Banjar.
Bangunan pada pemukiman masyarakat Bali menurut fungsinya dibedakan atas tiga jenis yaitu bangunan tempat pemujaan (pura), bangunan umum, dan bangunan tempat tinggal yang terdiri dari berbagai bentuk bangunan sesuai dengan pola tempat tinggal orang Bali yang bersifat majemuk. Sistem budaya yang menata pemukiman di Bali berlandaskan pada konsepsi Tri Hita Karana yang juga diacu pada konsepsi dualistis, yaitu konsepsi akan adanya dua kategori dalam tata arah utara-selatan (kaja-kelod) yang berkaitan dengan hulu-hilir (luan-teben) dan sakral-profan (suci-cemer). Segala sesuatu yang bernilai suci atau sakral menempati letak di bagian hulu (luan) yaitu pada arah gunung atau matahari terbit. Letak pura arah sembahyang yang bernilai suci harus terletak pada posisi hulu (luan). Sebaliknya segala sesuatu yang dianggap tidak suci atau profan harus menempati posisi hilir (teben) yaitu pada arah kelod atau ke laut, seperti letak kuburan, kandang ternak, kamar kecil, dan tempat pembuangan sampah.

Lembaga Kemasyarakatan

Lembaga kemasyarakatan pada masyarakat Bali adalah bersifat tradisional, yaitu Desa, Banjar, Subak dan Sekeha. Bentuk lembaga masyarakat tradisional yang berdasarkan satu kesatuan wilayah disebut Desa. Konsep Desa memiliki pengertian pada Desa Adat dan Desa Dinas. Desa Adat merupakan satu kesatuan masyarakat hubungan adat di daerah Bali yang mempunyai kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga, yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan tersendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Landasan dasar dari Desa Adat harus berlandaskan pada konsepsi Tri Hita Karana. (Tri Hita Karana yaitu suatu konsepsi yang mengintegrasikan secara selaras tiga komponen penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang diyakini oleh setiap orang Bali. Ketiga komponen tersebut adalah Parhyangan atau Tuhan yang memberi perlindungan bagi kehidupan, Palemahan yaitu seluruh wilayah dari lembaga tersebut, dan Pawongan yaitu sumber daya manusia yang terdiri dari tenaga yang bersangkutan). Sedangkan Desa Dinas adalah satu kesatuan wilayah administratif di bawah wilayah Kecamatan.
Menurut strukturnya, Desa Adat diklasifikasikan pada dua pola yaitu Desa Adat yang memiliki pola sentralisasi dan Desa Adat yang memiliki pola desentralisasi. Pada pola pertama posisi dan fungsi Desa Adat sangat sentral, sedangkan pada pola kedua Desa Adat terbagi-bagi ke dalam beberapa kesatuan wilayah di bawah desa (sub desa) yang disebut Banjar. Banjar selain berfungsi secara administratif, juga berfungsi secara religius dan menangani fungsi-fungsi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kultural. Pada umumnya di dalam satu Banjar memiliki rata-rata anggota 50 sampai 100 kepala keluarga. Setiap Banjar memiliki tempat atau pusat pertemuan yang disebut Balai Banjar.
Subak adalah salah satu bentuk lembaga kemasyarakatan pada masyarakat Bali yang bersifat tradisional dan yang dibentuk secara turun temurun oleh masyarakat umat Hindu Bali. Subak berfungsi sebagai satu kesatuan dari para pemilik sawah atau penggarap sawah yang menerima air irigasi dari satu sumber air atau bendungan tertentu. Subak merupakan satu kesatuan ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan. Pada umumnya tugas setiap warga subak adalah untuk mengatur pembagian air, memelihara dan memperbaiki sarana irigasi, melakukan kegiatan pemberantasan hama, melakukan inovasi pertanian dan mengkonsepsikan serta mengaktifkan kegiatan upacara. Karena subak memiliki struktur yang berlandaskan konsepsi Tri Hita Karana, maka setiap subak di Bali harus memiliki pura pemujaan.
Sekeha merupakan lembaga sukarela yang dibentuk atas dasar tujuan-tujuan tertentu. Di pulau dewata ini terdapat bermacam-macam sekeha di bidang kehidupan pertanian, kerajinan, kesenian, keagamaan, dan lain-lain.

Kesenian

Kesenian pada masyarakat Bali merupakan satu kompleks unsur yang tampak digemari oleh warga masyarakatnya, sehingga terlihat seolah-olah mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Bali. Atas dasar fungsinya yang demikian maka kesenian merupakan satu fokus kebudayaan Bali. Daerah Bali sangat kaya dalam bidang kesenian, seluruh cabang kesenian tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakatnya yang meliputi seni rupa, seni pertunjukan dan seni suara.
Seni rupa mencakup satu cabang yang terdiri dari seni pahat, seni lukis dan seni hias. Seni pahat pada masyarakat Bali telah mengalami suatu perkembangan yang panjang yaitu patung-patung yang bercorak megalitik yang berasal dari jaman pra Hindu yang dipandang sebagai penghubung manusia dengan nenek moyang dan kekuatan alam, arca dewa-dewa yang dianggap sebagai media manusia dengan dewa-dewa dan jenis ini merupakan pengaruh Hindu-Budha, patung-patung yang bertemakan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata dan Ramayana, bentuk-bentuk relief yang dipahatkan pada tembok pintu dan tiang rumah, serta patung-patung yang berbentuk naturalis.
Begitu pula halnya dengan seni lukis di Bali yang telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Dimulai dengan lukisan-lukisan yang bersifat simbolis magis seperti rerajahan, lukisan-lukisan religius seperti lukisan parba, langit-langit dan ider-ider, serta lukisan-lukisan yang bersifat naturalis.
Untuk seni tari tradisional di Bali berdasarkan fungsinya digolongkan dalam tiga jenis yaitu Tari Wali (Tari Sakral) merupakan tarian keagamaan yang dianggap keramat, Tari Bebali merupakan tarian yang berfungsi sebagai pengiring upacara, dan Tari Balih-Balihan merupakan tarian yang berfungsi sebagai hiburan. Jenis tarian sacral atau yang dianggap keramat antara lain : Tari Sanghyang Dedari, Tari Rejang Sutri, Tari Pendet, Tari Baris Gede, Tumbak, Baris Jangkang, Baris Palung, Pusi, Seraman, Tekok Jago, Topeng Pajangan, Wayang Lemah, Wayang Sudamala, Tari Abuang, Tari Bruntuk, Tari Dakamalon, Tari Ngayab, dan Tari Kincang-Kincung. Alat pakaian atau gander yang digunakan oleh masyarakat akan disucikan atau disakralkan.
Kesenian sastra di Bali merupakan hasil warisan budaya yang luhur dan merupakan referensi serta sumber dari bentuk-bentuk lainnya. Sejak jaman dahulu masyarakat Bali telah mengenal tulisan atau aksara Bali. Secara keseluruhan seni sastra di Bali telah mengalami lima jaman yaitu kesusastraan Bali Purba, kesusastraan Bali Hindu, kesusastraan Bali Jawa, kesusastraan Bali Baru, dan kesusastraan Bali Moderen